Oleh : Abdurrahman
Maraknya kasus pengkerdilan terhadap insan Pers lantaran karna tulisanya semakin hari semakin subur di tanah ini.
Baru-baru ini termuat kasus Moh Sadli Saleh (33 Tahun) seorang wartawan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dipenjara karna tulisannya menggambarkan seakan-akan Pers sudah tidah punya ruang di tanah dengan Hukum Demokrasi ini untuk memiliki kebebasan sesuai dalam amanat UU Pers nomor 40 tahun 1999, jika wartawan dalam tulisanya atau penyiaranya terdapat kekeliruan Pers wajib melayani hak Jawab dan hak Koreksi.
Selain itu, dengan adanya kasus tersebut Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kopolisian Negara Repoblik Indonesia tentang kordinasi perlindungan kemerdekaan Pers dan penegak hukum seakan-akan sudah tidak mempunyai prinsip dan hanya sebagai bahan bacaan saja bukan untuk dijalankan dan ditegakan, seharusnya dengan adanya nota kesepahaman tersebut masalah Pers terkait karya jurnalistik tidak bisa diadukan langsung ke pihak kepolisian namun harus melewati Dewan Pers.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seakan-akan menjadi UU karet untuk menjerat dan menjadi alasan serta ancaman untuk mengikat kebebasan Pers.
Ditanah nusantara bernama Indonesia yang berwajah Demokrasi seharusnya Pers menjadi pilar utama yang menghidupkan marwah demokrasi dan membudayakan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Saya masih teringat pernyataan Thomas Jefferense Presiden Amerikat Serikat yang ke 3 seorang Founding fathers lewat siaran Pers pernah mengatakan “Lebih baik memiliki Pers tanpa pemerintah dari pada memiliki Pemerintah Tampa Pers” pernyataan tersebut menggambarkan betapa pentingnya keberadaan pers demi kesehatan suatu negara, Pilar penyeimbang dan penyelamat pilar yang lain ketika lumpuh.
Namun kenyataan dilapangan, Pers seakan-akan menjadi elemen pengacam bagi beberapa oknum yang gagal paham bahkan yang tidak mau paham dengan fungsi pers sebagai pengontrol dan pengawas kebijakan-kebijakan negara, pelaksanaan anggaran dan lain sebagainya.
Sudah menjadi kesepakatan, bahwa Pekerjaan wartawan memang berhubungan dengan kepentingan Publik karna wartawan adalah bidan sejarah yang mencatat setiap peristiwa baik maupun buruk, wartawan sebagai insan Pers juga adalah pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti Koruptor dan polisi busuk yang serakah.
Tulisan-tulisan wartawan yang benada mengancam bahkan meneror kepentingan beberapa oknum maupun kelompok tertentu menjadi momok tersendiri dan membuat resah bagi pelaku kepentingan pribadi atau kelompok yang mengesampikan kepentingan publik atau rakyat pada umumnya.
Dianggap rasis dan propokasi bahkan dituding mencemarkan nama baik, padahal tugas wartawan hanyalah menulis bukan membuat ataupu mengada-ngada suatu peristiwa.
Wartawan bukan peneror, jangan berbuat yang salah jika tidak ingin diberitakan terkait yang salah, pemberitaan yang disiarkan oleh perusahan Media bertujuan untuk membina atau memberi pelajaran kepada yang melakukan kesalahan dan merugikan negara atau orang lain, bukan bermaksud menimbulkan rasa takut sehingga merasa terganggu.
Pers bukan teroris, praktek jurnalisme sudah diatur dalam Undang-Undang bahkan termuat dalam Nota Kesepahaman antara beberapa lembaga seperti Polri atau TNI, Kejaksaan Negri, Komisi Perlindungan Anak, KPU dan Bawaslu serta masih nyak instansi lainnya.
Sistim keterbukaan di Negara ini wajib di budayakan dan dibudidayakan, sebab negara ini adalah negara yang menganut sitim Demokrasi "Dari Rakyat Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat" kekuasaan yang hakiki ada di tangan rakyak, rakyat wajib tau tentang bagaimana kinerja pemerintah, kebusukan-kebusukan yang disembunyikan serta prestasi yang diraih.
Baca Juga
0 Komentar