SUMBAWA, WartaBumigora -Setelah sempat tertunda selama dua pekan lalu, akhirnya sidang praperadilan terhadap Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Sumbawa Dr. Adung Sutranggono, SH, M. Hum, yang diajukan dr.DHB tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi korupsi sejumlah proyek fiktif atas pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan pada RSUD Sumbawa tahun 2022 lalu, Senin (28/08) kembali digelar diruang sidang Candra Pengadilan Negeri Sumbawa Besar dibawah kendali hakim tunggal Saba’Aro Zendrato SH MH didampingi Panitera Pengganti Sahyani.
Hadir pada sidang perkara Nomor 2/Pid.Pra/2023-PN.Sbw tersebut, pemohon praperadilan dr.DHB diwakili tim kuasa hukumnya Advokat Surahman MD SH MH dan Hasanuddin Nasution SH MH Wakil Ketua Peradi Pusat dkk dari Kantor Hukum SS dan Partner, sedangkan termohon Kajari Sumbawa diwakili Jaksa Rika Ekayanti SH MH dan dan Zanuar Irkham SH, dengan agenda pembacaan gugatan pemohon dr.DHB.
" Ada 33 halaman permohonan yang telah ia bacakan dipersidangan," terang, Advokat Surahman didampingi Advokat Hasanuddin Nasution SH MH dalam konferensi Pers kepada sejumlah wartawan dikantornya, Senin siang (28/08),
Menurut dia terkait masalah sah dan tidaknya penyidikan, sah dan tidaknya penetapan tersangka maupun terhadap penahanan tersangka dr.DHB yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Negeri Sumbawa.
” Hal ini kami permasalahkan dengan rujukan sebagaimana pasal 77 KUHAP tentang Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, tentang setidaknya penangkapan penanganan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan," terangdia.
Terus yang berikutnya adalah kata dia, ganti rugi dan diatur rehabilitasi bagi seorang yang perkara tidaknya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penyelidikan itu merupakan dasar awal yang diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi itu merupakan dasar hukum dalam para peradilan ini sebagaimana putusan MK nomor 21/TUU-II/2014 tanggal 28 April 2014.
" Yang menyatakan bahwa apabila tahapan hukum yang dilakukan oleh penyidik itu terhadap penetapan tersangka penahanan tersangka apabila salah satu tahapan tidak dilakukan maka cacat hukum berarti batal demi hukum," jelasnya.
Apalagi ketika itu tersangka dipanggil dalam status saksi dan pada hari yang sama ditetapkan sebagai tersangka kemudian langsung ditahan, dimana surat penahanannya sekitar seminggu kemudian baru diberikan kepada kami selaku kuasa hukum tersangka, dan bahkan istri ataupun keluarga tersangka belum pernah menerima surat dimaksud.
Menurut Surahman, selain mengacu pada putusan MK, kami juga mengacu kepada pasal 109 ayat 1 serta ada beberapa pelanggaran lainnya yang bersifat pelanggarannya itulah mengenai tidak ada surat panggilan klien kami sebagai tersangka justru hari itu disuruh datang karena ada panggilan sebagai saksi pada tanggal 20 Juli 2023, namun pada hari itu juga ditingkatkan proses penyidikan dan klien kami ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditetapkan penahanannya dalam kurun waktu 1 hari.
“Tindakan penyidik Kejaksaan ini dinilai terlalu dini dan gegabah, karena telah melanggar pasal 112 yang menyatakan seorang itu harus dipanggil secara sah secara resmi baik terhadap kedudukannya, apakah dia sebagai saksi itu harus jelas suratnya itu harus jelas ditandatangani, apakah dia sebagai tersangka, dan disini teman-teman penyidik itu sudah melanggar, sehingga dengan adanya hal tersebut maka penerapan hukum dalam rangka penetapan tersangka serta penahanan itu jelas sudah menjadi cacat prosedur atau batal demi hukum,” ujar Surahman.
Bahkan, awalnya dr.DHB dikenai, dalam hal ini tidak tepat diarahkan kepada klien kami kata Surahman, apalagi didalam surat perpanjangan penahanan justru klien kami disangkakan telah melakukan pemerasan dan tentu hal ini dipertanyakan siapa pelaku pemerasan dan siapa orang yang meminta dan siapa yang memberi, sebab sejauh ini dr.DHB tidak pernah merasa meminta atau menerima sesuatu," tukasnya.
Surahman juga mengatakan kalau pihaknya telah menyiapkan dan akan mengajukan sejumlah dokumen bukti surat dan enam orang saksi serta dua ahli hukum pidana dari Jakarta dan Denpasar, dimana dalam gugatan praperadilan tersebut kami mengajukan 10 tuntutan (Petitum) yang kami minta kepada hakim pemeriksa perkara tersebut, yakni agar menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan sah dan bernilai sebagai alat bukti seluruh alat bukti yang diajukan oleh pemohon, menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor print 02/N.2.3 eh/fd.2/2023 tertanggal 20 Juli 2003 yang dikeluarkan oleh termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum atau cacat hukum oleh karenanya Surat Perintah penyidikan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, menyatakan surat penetapan tersangka nomor print 01/n.2.13/fd.2/07/2023 tanggal 20 Juli 2003 yang dikeluarkan oleh termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum oleh karenanya surat penetapan tersangka kepada pemohon tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, menyatakan Surat Perintah penahanan nomor print 01/n.2.13/fd. 1/07/2023 tanggal 20 Juli 2023 yang telah dikeluarkan oleh pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum atau cacat hukum oleh karenanya Surat Perintah penahanan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan memerintahkan termohon untuk membebaskan pemohon dari tahanan segera setelah putusan dibacakan, memerintahkan kepada termohon untuk mengembalikan segala surat-surat yang disita oleh termohon untuk segera dikembalikan ke posisi semula segera setelah putusan dibacakan, memerintahkan kepada termohon Untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon, memulihkan hak pemohon dalam kemampuan kedudukan harkat dan martabatnya, serta menghukum termohon untuk membayar biaya perkara menurut hukum,"paparnya.
0 Komentar