SPACE IKLAN

header ads

Pemanfaatan Mikroba Sebagai Agens Hayati Dalam Pengelolahan Organisme Penggangu Tumbuhan

Foto. Istimewa.

Oleh : Ai Rosah Aisah

Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Ahli Pertama

Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Nusa Tenggara Barat (BPSIP NTB)

Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) menjadi salah satu tantangan dalam praktik budi daya tanaman sehingga diperlukan strategi untuk pengelolaannya. Selama ini, perlindungan tanaman ataupun pengelolaan OPT sering dilakukan dengan cara mengaplikasikan pestisida sintetik. Penggunaan pestisida sintetik secara terus-menerus dan berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif pada berbagai aspek seperti terjadinya resistensi OPT terhadap pestisida, resurjensi hama, adanya residu pada produk pertanian yang dihasilkan, dan tercemarinya lingkungan.

Sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik dalam sistem budi daya pertanian maka perlu dilakukan pengelolaan OPT secara terpadu. Hal ini juga menjadi strategi perlindungan tanaman dalam sistem budidaya pertanian berkelanjutan, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2019 Pasal 48 ayat 1, yaitu perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu (PHT) serta penanganan dampak perubahan iklim. Dalam budi daya pertanian berkelanjutan, perlindungan tanaman dilakukan dengan memperhatikan aspek ekologi sehingga dampak negatif terhadap lingkungan dapat dikurangi dan keanekaragaman hayati dapat terjaga.

 Pengelolaan OPT secara terpadu merupakan suatu pendekatan dalam pengelolaan OPT yang bertujuan untuk menekan populasi hama atau kepadatan inokulum penyakit sehingga tingkat kerusakan tanaman oleh OPT dapat diminimalisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan beberapa teknik pengendalian yang ramah lingkungan seperti cara kultur teknis, fisik, mekanis, dan biologis. Sementara itu, penggunaan pestisida sintetik dijadikan sebagai alternatif terakhir dalam menekan perkembangan OPT. Upaya tersebut mengacu pada standar cara budidaya tanaman pangan yang baik (SNI 8969:2021), dengan menjadikan penggunaan pestisida sintetik sebagai pilihan terakhir ketika cara-cara lain dinilai tidak efektif.

Pengelolaan OPT yang ramah lingkungan terus digaungkan untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Salah satu strategi pengelolaan OPT untuk mendukung sistem pertanian berkelanjutan adalah dengan memanfaatkan mikroba sebagai agensia pengendali hayati (APH). Agensia pengendali hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas dari protozoa, serangga, cendawan/jamur, bakteri, virus serta organisme lainnya yang dalam tahap perkembangannya dapat dipergunakan untuk pengendalian OPT. 

Agensia pengendali hayati dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu predator, parasitoid, patogen serangga, dan agen antagonis patogen. Sementara itu, mikroba dalam pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen serangga dan atau agen antagonis patogen tumbuhan. Patogen serangga adalah mikroorganisme yang dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada individu serangga OPT, sedangkan agen antagonis merupakan mikroorganisme atau jasad renik yang dapat menghambat aktivitas atau pertumbuhan patogen penyebab penyakit dengan melibatkan berbagai mekanisme seperti parasitisme, kompetisi, predasi, atau produksi senyawa metabolit. Mikroba patogen serangga atau agen antagonis dapat berupa jamur, bakteri, nematoda, atau virus.

Berdasarkan penelitian, mikroba yang berpotensi sebagai patogen serangga yaitu bakteri Bacillus thuringiensis, jamur Hirsutella sp., Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, nematoda Steinernema sp., dan virus Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV). Sementara itu, mikroba yang berperan sebagai antagonis patogen tumbuhan antara lain adalah bakteri Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens, Streptomyces sp., Paenibacillus polymyxa, jamurTrichoderma spp., Gliocladium sp., Cryptococcus sp., dan Candida sp.

Patogen serangga yang sudah diuji efektivitasnya dalam menekan serangga hama, baik dalam skala laboratorium maupun lapangan contohnya adalah jamur Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae. Kedua jamur patogen tersebut dapat menginfeksi serangga hama yang memiliki tipe mulut menusuk dan menghisap seperti hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis), wereng batang coklat pada padi (Nilavarpata lugens), kutu daun (Aphis sp.), kutu putih (Planococcus spp.), trips (Thrips sp.), atau serangga tipe mulut menggigit seperti ulat grayak (Spodoptera sp.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi B. bassiana dan M. anisopliae pada tanaman bawang, masing-masing dapat mengurangi populasi hama trips sebesar 86% dan 77%.

Jamur B. bassiana dan M. anisopliae dapat diaplikasikan dengan cara disemprot. Serangga hama yang memakan atau kontak langsung dengan jamur patogen akan mengalami gangguan pada metabolismenya. Hal ini dikarenakan spora jamur yang menempel pada kutikula hama serangga akan berkecambah dan menembus kutikula hingga memasuki bagian hemocoel (rongga tempat mengalirnya darah), kemudian mengolonisasi tubuh serangga. Proses tersebut melibatkan sejumlah enzim dan toksin. Infeksi yang terus berlanjut dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh dan sistem syaraf serangga hama, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Selanjutnya uji efektivitas mikroba sebagai agen antagonis patogen tumbuhan juga sudah banyak dilakukan, misalnya jamur Trichoderma harzianum, bakteri B. subtilis dan P. fluorecense. Jamur Trichoderma sp. umumnya dimanfaatkan untuk menekan perkembangan patogen tular tanah seperti Fusarium sp., Rhizoctonia sp., Pythium sp., dan patogen tular udara seperti Pyricularia oryzae, dan Colletotrichum sp.. Berdasarkan salah satu penelitian, aplikasi Trichoderma sp. pada tanaman tomat efektif dalam menekan perkembangan penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium sp. hingga tingkat keparahan penyakit menurun menjadi 8 - 13%. Mekanisme aksi yang digunakan oleh Trichoderma sp. dalam mengendalikan penyakit tanaman yaitu kompetisi, antibiosis, sekresi enzim, parasitisme, dan induksi ketahanan tanaman.

Agensia pengendali hayati memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mengendalikan OPT. Beberapa kelebihannya adalah bersifat selektif terhadap OPT sasaran sehingga aman bagi organisme non-target, mengurangi terjadinya resistensi pada OPT, dan tidak meninggalkan residu kimia yang berbahaya sehingga aman bagi manusia dan lingkungan. Sementara itu, kekurangan APH di antaranya adalah sistem kerja lambat, efektivitas APH di lapangan bervariasi bergantung pada kondisi lingkungaan dan jenis OPT yang dikendalikan, dan beberapa jenis APH sulit untuk diperoleh karena harganya yang mahal atau terbatasnya pengetahuan terkait cara pengelolaan dan penggunaan APH. 

Praktik pemanfaatan mikroba sebagai APH masih menghadapi beberapa tantangan, seperti memastikan APH dapat bertahan dan bekerja secara efektif di lapangan dalam kondisi lingkungan yang beragam, pengembangan formulasi APH yang stabil dan mudah diaplikasikan, serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani terkait cara penggunaan dan pengelolaan mikroba sebagai APH. 

Agar pemanfaatan APH dapat diterapkan oleh petani dalam pengelolaan OPT maka perlu dilakukan penyuluhan dan pendampingan terkait cara penggunaan dan keuntungan penggunaannya. Dengan memanfaatkan mikroba sebagai APH maka diharapkan OPT dapat terkelola dengan baik, hasil pertanian meningkat dan berkualitas, serta keseimbangan ekosistem dapat terjaga.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar