Oleh : Fahrul Ramadhan
Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai provinsi yang melahirkan banyak cendekiawan.Semangat tersebut tercermin dari upaya orang tua yang begitu gigih mencari uang untuk melanjutkan anaknya ke jenjang Pendidikan Tinggi. Walaupun, secara latar belakang pendapatan ekonomi musiman, berdasarkan hasil pertanian. Tapi upaya untuk menjadikan anaknya sebagai lulusan Pendidikan Tinggi tidak pasang surut, bahkan harus utang juga sebagian untuk menutupi kebutuhan hidup. Sehingga melahirkan banyak anak-anak muda NTB yang memiliki gagasan kritis, inovatif, dan kreatif terhadap persoalan NTB pada khususnya.
Anak-anak muda yang memiliki daya kritis tersebut tidak terfasilitasi oleh ruang publik, dalam hal ini pemerintah NTB. Sehingga kemampuan kritisnya disalurkan tidak tepat sasaran, ujung-ujungnya menjadi Tim Sukses, walaupun tidak sukses-sukses. Dalam hal ini, saya sangat rispec dengan aktivis-aktivis muda yang punya keberanian untuk menjadi Calon Anggota Legislatif, ketimbang aktivisme yang mengagung-agungkan birokrasi, figur elit politik, yang sudah tau keburukan-nya, dan yang sering dia kritisi sebelumnya.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, tidak sedikit gagasan kritis muncul dari berbagai kalangan. Terutama, dari kalangan intelektual yang mengakui diri aktivisme. Gagasan kritis tersebut mendapatkan sambutan baik dari publik dengan memberikan apresiasi, sebab gagasan kritis mampu direspon oleh fungsionaris birokrasi publik, dalam hal ini pemerintah daerah. Gagasan kritis tersebut banyak didominasi oleh kalangan mahasiswa yang mengkonsumsi teori kritis. Tidak segampang itu mereka mendapatkan gagasan kritis, sebab dalam dunia pendidikan yang menstrim sekarang tidak diajarkan untuk mengkritisi persoalan secara radikal, teori kritis tersebut mereka konsumsi dari organisasi mahasiswa.
Maka tidak heran, kalkulasi rata-rata mahasiswa NTB secara mayoritas pernah menjadi bagian dari organisasi mahasiswa tertentu. Selepas dioraganisi tersebut, ada yang cuman menjadi anggota hore-hore, anggota huru-hara, anggota yang hanya tunduk terhadap senior, anggota inti, dan menjadi fungsionaris paling strategis pula Dari jenis anggota tersebut tinggal di tafsirkan masing-masing, jenis anggota yang manakah kalian. Sebagai refleksi kolektif, berorganisasi semasa mahasiswa itu sangat penting dan memiliki value tersendiri dalam adaptasi sosial. Kalau boleh dibilang usia produktif (bonus demografi) masyarakat NTB sebenarnya sangat meningkat, misalnya tahun 2020, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada periode yang sama tercatat memiliki penduduk sebesar 5.320.092, dengan bonus demografi mencapai 69,77 persen. Dengan proporsi penduduk usia produktif yang hampir mencapai 70 persen tersebut, Provinsi NTB berpotensi melakukan percepatan pembangunan. Pada tahun 2024, Populasi mencapai 5,646 juta jiwa, harusnya usia produktif juga bertambah. Tapi tidak sampai pada titik ini, keterlibatan pemerintah dalam menjawab ini sangat-sangat penting, terasa percuma bonus demografi kalau tidak ada terobosan pemerintah yang rell.
Genealogi yang digambarkan di atas, bisa dijadikan sampling munculnya nilai perlawan anak muda NTB. Sehingga di berbagai problem sosial ada aksi-aksi perlawanan, baik menyikapi masalah infrastruktur, anjloknya komoditas pertanian, merosotnya harga garam, jaminan sosial, dan problem-problem sosial lainya. Jiwa perlawanan ini sampai tidak terbendung saking membaranya hasrat berlawan, setelah itu mereka ditahan oleh keamanan negara, setelah keluar melakukan perlawanan lagi. Sampai mereka kehilangan arah untuk membawa nilai kritis tersebut, pada akhirnya mereka hanya mendapatkan popularitas individu.
Harus diapresiasi, kultur perlawanan pemuda NTB. Tapi sayang seribu kali sayang, perlawan tersebut tidak memiliki roadmap (peta jalan) perlawanan tersebut disandarkan dimana (tempat bersandar yang tepat). Maka, seringkali terjebak nilai kritis yang bisa diorganisir melalui pendekatan tandingan yang tidak bersandar pada kritisan tersebut. Semisal, (si A) mengritisi habis-habisan kebijakan IDP-Dahlan, tapi solusi yang bisa ditawarkan dan diperjuangkan secara mati-matian juga dirasa sama. Yaitu, mendorong calon lain selain IDP-Dahlan, tidak peduli calon lain tersebut berangkat dari status sosial yang sama, rekor politiknya seperti apa? Gagasan politiknya seperti apa? Menurutnya tidak peduli asalkan bukan IDP-DAHLAN.
Dari kalkulasi data di atas, banyaknya kelompok intelektual kritis, aktivis, dan organisatoris. harusnya merumuskan kesimpulan politik untuk berkuasa sebagai roadmap jangka panjang, bukan malah menjadi budak elitis yang menindas rakyat (arus utama). sebagai solutif dari poin ini, penulis akan mengungkapkan diakhir tulisan.
Terperangkap Arus Politik Utama
Alih-alih mengkritisi persoalan sosial yang terjadi, malah terjebak kedalam devil's trap (jebakan setan). Daya kritis yang semula menghantui kekuasaan, sekarang malah menjatuhkan personal figur politik dan mengglorifikasi figur politik yang satunya. Gaya kritis seperti ini sering kita temui dalam momen-momen mendekati kontestasi pemilu. Berdasarkan pantauan terhadap beberapa akun Facebook. Seperti, salah satu pendukung Zul-Uhel, malah yang sering diposting adalah kebobrokan rezim IDP (kasus korupsi), IDP inikan Bupati Bima, tapi yang sering muat kritik merupakan orang Dompu. Tujuan dia ini adalah ikut mempengaruhi publik bahwa IDP ini rezim tidak berpihak kepentingan rakyat, alias maksudnya tidak layak menjadi Wakil Gubernur. Disisi lain, maksudnya supaya Zul-Uhel diuntungkan atas kalkulasi kritikan tersebut. Begitupun sebaliknya, yang mendukung Iqbal-Dinda, sering menjelek-jelekkan calon lain, seperti mengkritik Zul dengan kebijakan NTB Gemilang yang tidak merata.
Tanpa harus saya sebut satu persatu, nama-nama aktivis yang teriak lantang, lalu mendapatkan popularitas. Sehingga popularitas tersebut dijauhkan dari eksistensi kritis awal, yang mau dikatakan adalah, sedari awal para aktor aktivisme yang seperti ini berupaya untuk mencari bursa event, dengan cara membagun budaya kritis lebih awal, lalu menghaba terhadap kepentingan elit politik yang lain, padahal elit politik itu sama watak dasarnya, tidak berpihak kepada kepentingan rakyat kecil. Kalau dalam konteks logika fallacy (kekeliruan logis), adalah jenis kesalahan penalaran yang terjadi dalam argumen, salah satunya, ad hominem “menyerang pribadi orang yang mengajukan argumen, bukan argumennya”.
Sebagai saran, kalau mau mengkritisi struktur kekuasaan, harus meletakan landasan teori berdasarkan situasi yang terjadi, apalagi mayoritas pelaku kritis memiliki latar belakang sebagai Mahasiswa. Kalau landasan teori kritis merujuk pada pendekatan dalam ilmu sosial dan humaniora yang menekankan analisis terhadap struktur kekuasaan, ideologi, dan kondisi sosial yang ada. Teori ini berakar pada pemikiran aliran Frankfurt dan berbagai tradisi pemikiran lainnya, seperti Marxisme, feminisme, dan teori postmodern. Supaya nuansa kritis tersebut dapat memiliki nilai educations juga terhadap pembaca, pendengar, lebih-lebih pemangku kebijakan.
Maksudnya, bukan menyampaikan teori kritis seperti yang dijelaskan dalam buku-buku. Tapi sebagai kerangka acuan, latar belakang masalahnya, legal standingnya, HAM-nya, dan bagaimana pengaruhnya secara interseksionalitas. Supaya tidak menyampaikan nuansa kritis ngawur ngidul, yang dikritik apanya? Maksud nya bagaimana? Tawaran-tawaran nya seperti apa? Sehingga banyak kesan yang tersampaikan hanya menjelek-jelekan secara pribadi, bukan kebijakan publiknya.
Tawaran politik dominan (arus utama) sangat mematikan orientasi kritis anak-anak muda NTB. Apakah ini proses alamiah, atau memang rezim memasang perangkap untuk melumpuhkan orientasi kritis (disorientasi). Secara historis kita lihat sebelumnya, bagaimana perlawanan menggebu-gebu. Eh, setelah satu tahun populer mendapatkan stempel aktivisme, mulai agak aneh muara argumentasinya. Mulai mengangkat derajat pemerintah yang korupsi, mulai masuk pada tuntutan mencopot jabatan “biar jabatan tersebut diganti oleh orang yang dekat sama dia secara emosional”, gaya-gaya birokrasi mulai merasukinya, dan narasinya mulai penuh dengan pencitraan.
Arus utama tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk menjinakan para srigala betina dan jantan ini, cukup dengan melakukan pendekatan dialog. karena dengan dialog seolah bisa menyelesaikan masalah, dalam hal ini dialog yang dimaksud dengan cara audiensi, rapat dengar pendapat (RDP). Sehingga dalam ruang ini mulai terbangun hubungan personaliti. Simsalabim abrakadabra, rencana lebih lanjut nya berjalan dengan lancar. Tibalah saatnya, mulai kontrak politik atas nama kepentingan rakyat. Karena sirkulasinya terjadi secara repetitif, maka kesempatan tersebut digunakan untuk menunjang kebutuhan pribadi.
Jalan yang ditempuh di atas seperti, RDP, dialog, negosiasi, tidak menjadi permasalahan. Tapi yang menjadi masalah yaitu terlalu mempercayai terus menerus kepada rezim yang sudah kita ketahui orientasi kekuasaan. Untuk melihat orientasi kekuasaan, dapat dilihat dari kacamata historis, bagaimana jalan yang ditempuh untuk memenangkan kontestasi politik, karir politiknya, latar belakang lingkungan sosialnya. Sebab tidaklah mungkin pemimpin politik bisa berubah karena dengan proses dialog seketika, kalau dia tidak lahir dari tradisi kepentingan rakyat.
Para aktor ini tetap menyuarakan narasi kritis terus menerus tapi untuk melanggengkan oligarki politik yang lain. Apakah wajar seorang intelektual aktivisme memuji calon pemimpin berlebihan, dengan latar belakan orang yang bertarung di kontestasi politik daerah saat ini? Seperti Calon Bupati Bima Yandi, seolah dia perwakilan anak muda lalu kita ikut bebrbangga hati, anak muda yang dibanggakan adalah lahir dari ruang lingkup sosial yang tidak dominan (arus utama), baru kita bangga. Begitupun dengan Ibu-nya Umi Dinda, apakah kita harus bangga karena dia pemimpin perempuan, seolah-olah biasa mendobrak dominasi patriarki? Tentu saja tidak, kita harus melihat Umi Dinda sebagai perempuan yang lahir dari ruang lingkup sosial yang spesial (orang kaya), baru kita berbangga hati apabila ada perwakilan perempuan yang masuk parlemen atau jabatan politik yang lainya dengan jalan yang benar-benar mempresentasikan mayoritas perempuan secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Tradisi seperti ini baru nyampe di NTB, padahal kalau kita pelajari bahwa ini bagian dari tradisi klasik yang sudah pernah di terapkan oleh para intelektual yang berpihak terhada kolonialisme Belanda, dengan cara difasilitasi studi lanjut keluar negeri dan pulang ke indonesia menjadi antek-antek. Atau lebih lengkapnya soal politik etis, yang menyediakan pendidikan melalui Sekolah STOVIA, bertujuan untuk mengabdi terhadap kepentingan kolonial Belanda. Masa Orde Baru, dikutip dari bukunya, Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia (April 2006), Menjelaskan para intelektual yang dikirim ke California, university of Berkeley untuk melanjutkan studi, setelah itu, balik ke Indonesia akan menjadi tangan kanan suharto dan merubah pola pembangunan ekonomi Indonesia yang berorientasi kepada pasar bebas, privatisasi, dan lain sebagainya.
Aktivisme sebagai Agensi
Posisi aktivisme memang tidak dalam keadaan netral, netral dalam arti tidak memiliki keberpihakan politik. Bukan hanya saja aktor yang mendapatkan stempel aktivisme, semua manusia didunia ini tidak bisa menjadi seorang yang netral atas politik, karena menjadi seorang yang netral adalah sesuatu yang mustahil. Tapi bagaimana menunjukan keberpihakan tersebut berorientasi atas asas kebenaran dan keadilan universal, bukan kepada Iqbal-Dinda, Zul-Uhel, Rohmi-Firlin.
Ini membuktikan bahwa kelompok kritis menjadi pasif, bukan menunjukan sebagai pelaku utama atas instrumen politik yang ada, hanya menjalankan skenario yang sudah dibuat oleh para politikus mainstream. Aktivisme harus berani meresikokan diri dari pilihan politik dominan, yaitu membuat terobosan politik baru, keberpihakan rakyat umum. Berdasarkan paparan diawal, dengan kalkulasi kekuatan kelompok kritis di NTB yang banyak harusnya sudah bisa menciptakan kekuatan politik yang bertarung dalam tingkat Pilkada (Provinsi, Kota, dan Kabupaten).
Seperti yang kita saksikan sekarang politik arus utama sering kali didominasi oleh pandangan dan kebijakan yang dianggap "aman" dan "tradisional, beserta aktor elit yang mendominasi kekuasaan politik “yang tidak selalu mencerminkan kepentingan atau kebutuhan seluruh masyarakat”. Dalam konteks ini, antitesis muncul sebagai bentuk perlawanan dan refleksi terhadap ketidakpuasan dengan kebijakan yang ada.
Banyak yang mengklaim diri sebagai aktivisme, mendapatkan sepetpel aktivisme. kalau mengutip Antonio Gramsci dalam buku “Pilihan dari Catatan Penjara (1971)” membedakan antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional dianggap sebagai mereka yang berada dalam posisi akademis atau profesional yang seringkali terputus dari realitas sosial dan politik, sementara intelektual organik adalah mereka yang berasal dari kelas sosial tertentu dan berfungsi untuk memajukan kepentingan kelas tersebut. Menurut Antonio Gramsci, intelektual organik sering terlibat dalam membentuk dan mempertahankan hegemoni kelas mereka. Saya yakin pada dasarnya intelektual NTB adalah, intelektual organik.
Sebagai penutup, saatnya para aktivisme (intelektual organik) membuat Political Roadmap menuju periodesasi transisi kepemimpinan kedepan. Bukan tidak memungkin kan sekarang (2024), sebuah misi politik yang besar harus terencana dengan sistemik, melibatkan taktik-strategis, kepeloporan massa, dan tentu saja kapasitas untuk melawan arus utama, for 2029. Para aktor aktivisme memang harus saling menjalin komunikasi dalam kerangka diskursus politik intelektual organik, sebagai jawaban dari perselisihan-perselisihan kecil karena perbedaan aliran komunitas. Sangat-sangat yakin misi politik yang makro semuanya sama, jangan tidak bertemu karena misi politik yang sifatnya mikro, berja pendek, kepentingan personal.
0 Komentar