Oleh: Salman Faris
Merujuk kepada pengalaman pemilihan gubernur NTB secara langsung sejak tahun 2008, yang berarti kita sudah mempunyai pengalaman tiga kali dalam rentang lima belas tahun ini, maka saya membangun teori, pemenang pemilihan gubernur NTB ialah pasangan yang mempunyai basis massa yang pasti, jelas dan nyata. Selain itu ditopang oleh kuatnya kesadaran primordial. Teori ini ingin menegaskan, pertama, pasangan yang tidak didukung oleh basis massa seperti ormas tertentu, sangat kecil kemungkinan menang. Kedua, tanpa bermaksud mengecilkan peran partai politik, dalam konteks pemilihan gubernur NTB (bukan legislatif), pengaruh partai politik sangat cair dalam menentukan kemenangan pasangan calon. Ketiga, dalam konteks pemilihan gubernur NTB tahun 2024 ini, pasangan Zul-Uhel mempunyai peluang menang sangat tipis.
Kenapa Zul-Rohmi dapat memenangkan pertarungan pada tahun 2018? Kalau berpegang kepada teori saya di atas, dapat dikemukakan beberapa penjelasan. Pada tahun 2018, sejatinya pemilih lebih bertumpu kepada figur Rohmi. Meskipun posisinya sebagai wakil, namun Rohmi didukung sepenuhnya oleh ormas yaitu NW Pancor, yang kemudian bermetamorfosis menjadi NWDI. Pada waktu itu, limpahan pemilih Rohmi bersumber utama dari NW Pancor, kemudian ditambah oleh pemilih NW Anjani yang masih melihat Rohmi sebagai keturuan Tuan Guru Pancor.
Penjelasan lainnya ialah kemenangan Zul-Rohmi masih sangat ditentukan oleh kekuatan figur TGB. Selain masih mempunyai kekuasaan politik, TGB pada tahun 2018 mempunyai kekuasaan dan kekuatan simbolik di NW Pancor bahkan di kalangan ormas Islam yang lain. pendukung TGB tidak terbelah secara besar. Dengan kata lain, hampir seratus persen pendukung TGB melabuhkan pilihan kepada Zul-Rohmi karena melihat Rohmi sebagai anak kandung NW Pancor dan memiliki hubungan saudara dengan TGB.
Penjelasan berikutnya terkait pemilih bertumpu kepada Rohmi pada tahun 2018 ialah realitas di mana, Zul pada dasarnya pada waktu itu tidak diterima oleh orang Sasak. Arus deras penentangan orang Sasak kepada Zul sangat besar. Karena itu, boleh dikatakan suara NW Pancor dan TGB hampir sepenuhnya berkontribusi atas kemenangan Zul-Rohmi. Selain itu, Zul juga mendapatkan penentangan dari kalangan jamaah NW Pancor. Namun tidak bangkit secara besar ke permukaan. Penentangan itu masih dapat dinetralisir karena mereka masih memiliki ketaatan besar terhadap TGB dan ormas NW Pancor. Hanya, saja sebagian mereka yang tetap dalam garis penentangan, memilih memberikan suara kepada pasangan lain, iaitu antara Uhel, Ahyar dan Ali BD. Jadi bibit penentangan NWDI kepada Zul sebenarnya sudah tumbuh sejak tahun 2018 dan memuncak kembali pada tahun 2024 ini.
Hal tersebut di atas, secara tidak langsung mempertegas bahwa kemenangan Zul-Rohmi pada tahun 2018 hampir sepenuhnya karena Rohmi sendiri mempunyai basis massa yang solid. Sedangkan suara dari pemilih Sasak terbelah menjadi empat yang kebanyakan diambil oleh pasangan Suhaili-Amin dan Ahyar-Mori. Suara Ali-Sakti hampir sepenuhnya dari pemilih NW Anjani dan suara murni ketokohan Ali BD. Maknanya, kalau Zul-Rohmi tidak memiliki basis massa yang kuat, ada kemungkinan pasangan Suhaili-Amin dapat memenangkan pertarungan.
Lantas kenapa Suhaili-Amin dapat meraih posisi kedua pada tahun 2018? Penjelasan pertama ialah pada masa itu Suhaili masih mempunyai pengaruh kekuasaan yang besar di Lombok Tengah. Suara Bodak sebagai basis penting Suhaili tidak terpecah seperti pada tahun 2024. Selain itu, Suhaili menjadi satu-satunya calon dari Lombok Tengah. Informasi ini ingin menerangkan bahwa pada tahun 2024 ini, tentu saja kenyataan sudah berbeda jauh. Pengaruh Suhaili sudah mulai lemah, ada juga Iqbal yang berasal dari Lombok Tengah, dan secara kepartaian, Fathul berseberangan dengan Suhaili dalam pemilihan gubernur NTB tahun 2024. Hal ini menunjukkan bahwa suara Suhaili yang akan menopang pemilih Zul di Lombok Tengah akan jauh merosot pad atahun 2024 ini. Menariknya, suara pemilih Lombok Tengah, mayoritas akan terserap ke Iqbal.
Ada beberapa alasan yang dapat diterima kenapa suara Lombok Tengah akan banyak tumpah ke Iqbal. Dari segi praksis kuasa, Fathul sebagai petahana yang ikut bertarung pada masa yang sama sebagi calon bupati Lombok Tengah berada dalam partai yang sama dengan pengusung Iqbal. Selain itu, suara NW Anjani yang terbilang cukup besar di Lombok Tengah dapat dipastikan kebanyakan akan ke Iqbal. Penjelasan lainnya ialah, tentu saja dari pengaruh figur Iqbal juga dinilai lebih kuat dibandingkan Suhaili pada masa ini.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah Iqbal diuntungkan geopolitik Lombok Tengah, di mana Iqbal sebagai represenatsi pusat kuasa simbolik Lombok Tengah, yakni Praya. Tentu saja ini sangat merugikan Suhaili yang secara geopolitik berada di tepian pusat kuasa Lombok Tengah. Maknanya, jika pengaruh politik Praya pada tahun 2018 masih diberikan kepada Suhaili karena satu-satunya calon dari Lombok Tengah. Sudah pasti berbeda tahun 2024 karena sudah ada Iqbal yang dinilai sejati mewakilkan pusat kuasa di Lombok Tengah.
Gambaran di atas menunjukka bahwa di pertarungan pemilih Lombok Tengah saja, secara teoretik Suhaili tergeser jauh oleh Iqbal. Tegasnya, Zul-Uhel akan kalah di Lombok Tengah karena yang memiliki basis massa yang solid di Lombok Tengah ialah Iqbal-Dinda. Situasi akan berlaku sama di kabupaten/kota yang lain. Kalau bukan Rohmi-Firin, ya Iqbal Dinda yang akan memenangkan pertarungan.
Lantas bagaimana menjelaskan bahwa keterikatan primordialistik juga turut berperan besar dalam pemilihan gubernur di NTB? Sebagai contoh ialah sekali lagi tahun 2018, di mana Ahyar-Mori menduduki posisi ketiga. Selisih suara yang cukup sedikit dengan Suhaili-Amin. Tidak dapat dimungkiri ketokohan Ahyar Abduh juga berperan penting dalam pendulangan suara. Namun ini lebih nyata di Kota Mataram. Karena itu, ada pandangan yang dapat diterima bahwa kontribusi Mori Hanafi sangat signifikan. Terutama dalam mengambil hampir sepenuhnya suara pemilih dari kalangan etnis Mbojo.
Sebagai satu-satunya calon yang mewakili etnis Mbojo, Mori berhasil mengkonversi situasi tersebut menjadi lumbung suara. Mori berhasil secara baik membangun kesadaran primordial yang berdampak kepada gerakan terukur masyarakat Mbojo untuk memastikan pilihan kepada Mori.
Rupanya, situasi ini akan terulang kembali. Bahkan dengan daya kejut yang jauh lebih besar. Ada penjelasan logisnya. Dinda, sebagai pasangan Iqbal masih mempunyai kekuasaan politik yang sangat besar di Bima. Dinda mempunyai pengalaman dan kepandaian menggerakkan mesin politik kuasa secara baik. Terbukti dari keberhasilannya menang dua periode dan mengantarkan anaknya secara sukses berada di kursi kekuasaan.
Perkara yang sangat penting ialah Dinda merupakan simbol budaya. Dinda mempunyai modal budaya yang sangat kuat. Dinda ialah figur yang berada di rahim istana yang merupakan salah satu simbol peradaban Mbojo. Dengan kekuasaan yang begitu besar, dapat dipastikan Dinda akan jauh lebih berhasil meraup suara Mbojo dibandingkan Mori. Ini artinya, dalam pemilihan gubernur tahun 2024 ini, Dinda akan menang besar di Bima, yang secara langsung memberikan keuntungan dan peluang kemenangan kepada pasangan Iqbal-Dinda.
Bagaimana dengan pemilih Samawa? Kalau merujuk kepada hasil pemilihan gubernur tahun 2018 yang tersebar di Sumbawa, dapat dikatakan bahwa suara pemilih Samawa tidak terpusat pada satu pasangan calon. Melainkan tersebar secara merata kepada semua calon. Ini memberikan makna, pertama bahwa Zul tidak memberikan kontribusi suara signifikan di pemilih Sumbawa pada tahun 2018 untuk kemenangan Zul-Rohmi. Kedua, situasi semakin mempertegas bahwa Zul hampir tidak mungkin menjadi gubernur NTB tahun 2018 itu, kalau bukan Rohmi yang menjadi wakilnya.
Hal berbeda nampaknya akan berlaku pada tahun 2024 ini. Indikasi kuat Firin akan mendulang banyak suara pemilih Samawa. Hal ini disebabkan oleh faktor kekuatan figur kepemimpinan Firin di KSB yang dapat berdampak kepada pemilih Samawa secara umumnya. Selain itu, penegasan dukungan tokoh kuat Samawa, Din Syamsuddin dan Badrul Munir kepada Firin sudah pasti akan menguatkan posisi Firin di tengah pemilih Samawa.
Hal yang sama berlaku pada Iqbal-Dinda. Meskipun pasangan ini tidak merepresentasikan primordial Samawa, namun dukungan tokoh paling kuat Samawa saat ini, yakni Fahri Hamzah, dapat dijadikan pendulum besar suara Iqbal-Dinda. Ditambah dukungan tokoh lain yaitu Bonyo Thamrin Rayes. Hal ini menunjukkan, bahwa secara ketokohan Zul tidak mengakar kuat di Samawa meskipun kiprah pemikiran dan kebijakannya cukup besar untuk pembangunan Sumbawa. Karena itu, hampir dapat dipastikan, Zul akan mengalami kekalahan di rumahnya sendiri.
Membaca gambaran ringkas di atas, dapat ditarik benang biru yang merujuk kepada gambaran titik kemenangan ketiga pasangan calon dalam pemilihan gubernur NTB tahun 2024. Malangnya, Zul-Uhel akan mengalami kekalahan di seluruh kabupaten/kota. Di pulau Lombok, Iqbal-Dinda sangat berpeluang besar menang di Lombok Tengah dan Kota Mataram. Sedangkan Rohmi-Firin berpeluang lebar menang di Lombok Utara dan Lombok Timur. Hanya saja, Iqbal-Dinda dapat membuat kejutan jika suara NW Anjani, ditambah faktor ketokohan Sukiman Azmi dan Ali BD betul-betul utuh. Namun, sudah pasti Rohmi-Firin akan berjuang habis-habisan untuk merebut Lombok Timur. Pastinya, pulau Lombok milik Iqbal-Dinda dan Rohmi-Firin, bukan Zul-Uhel.
Bahkan, kalau meyakini pandangan Zul-Uhel akan kalah di semua kabupatena/kota, maka dapat dirumuskan KSB akan menjadi milih Rohmi-Firin dan Sumbawa akan diambil alih oleh Iqbal-Dinda. Sementata itu, pemilih di Bima, Dompu, dan Kota Bima, hampir sudah dapat ditebak dengan tepat, Iqbal-Dinda merajai dengan Rohmi Firin akan memberikan persaingan yang sengit. Hal ini karena gerakan dukungan NW Pancor berpacu secara sistematik dan solid di ketiga daerah pemilihan ini. Sedihnya, di tengah persaingan Iqbal-Dinda dan Rohmi Firin, suara Zul-Uhel tergerus ke selokan berair kecil.
Sebenarnya, apa yang disampaikan di atas, saya rasa sudah disadari sekaligus dirasai secara mendalam oleh Zul. Karena itu, dengan segala jurus dan kecerdikan tinggi, Zul membangun menara hayalan dukungan TGB. Karena tak dapat dinapikan Zul ialah manusia unggul di rantau, manusia hebat di ranah musafir, tetapi di NTB, Zul bukanlah siapa-siapa tanpa dukungan solid dari NW Pancor ditambah serpihan dari NW Anjani pada tahun 2018 tersebut. Karena itu, hayalan dukungan TGB yang dibangun habis-habisan oleh Zul, amat kecil kemungkinanya menjadi kenyataan. Boleh jadi secara simbolik Zul mendapatkan restu TGB, tetapi pemilih utama TGB akan tetap setia melabuhkan pilihan ke Rohmi-Firin. Karena itu, saya samasekali tidak bermaksud mendekonstruksi kehebatan Zul. Tetapi ini realitas sosio-politik di NTB yang mesti diterima secara rasional dan sehat.
Untuk menguatkan lagi, teori saya tentang pemenang pemilihan gubernur NTB ialah mereka yang mendapat dukungan resmi dari organisasi masyarakat tertentu secara solid akan terus berlaku cukup lama sampai suatu masa ada pasangan dari luar garis tersebut berhasil mematahkannya. Namun antitesis ini hanya dapat dilakukan jika ada gerakan besar yang berhasil meruntuhkan ketaatan masyarakat kepada organisasi masyarakat yang mereka ikuti. Ini pekerjaan besar, karena itu boleh jadi tak akan terjadi dalam masa yang dekat. Karena itu, teori saya akan terus berlaku.
Iqbal-Dinda atau Rohmi-Firin akan menang. Zul sudah pasti realistis menerima keadaan.
0 Komentar