Oleh: Amin Rais, Sekretaris Umum PC IMM Dompu
Demokrasi yang diperjuangkan sejak reformasi kini menghadapi ujian serius. Alih-alih memperkuat kebebasan dan hak rakyat, beberapa kebijakan justru berpotensi membatasi partisipasi publik dan kritik terhadap penguasa. Sejumlah regulasi yang sedang dirancang oleh DPR dan pemerintah mencerminkan kecenderungan sentralisasi kekuasaan yang dapat mengancam prinsip demokrasi yang kita bangun selama lebih dari dua dekade terakhir.
Militerisasi Birokrasi: Langkah Mundur bagi Reformasi?
Revisi Undang-Undang TNI yang memberi ruang bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan sipil menjadi alarm bahaya bagi supremasi sipil atas militer. Dalam demokrasi yang sehat, militer memiliki peran khusus dalam pertahanan negara, sementara urusan pemerintahan dikelola oleh sipil. Namun, kebijakan ini berisiko membawa kita kembali ke masa ketika tentara tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga mengendalikan birokrasi sipil. Jika hal ini terus berlanjut, cita-cita reformasi untuk membangun pemerintahan yang transparan dan akuntabel bisa terancam.
Kebebasan Berpendapat dalam Ancaman
Selain itu, revisi KUHP yang mengatur pasal penghinaan terhadap presiden menunjukkan kecenderungan untuk membatasi kebebasan berpendapat. Kritik yang konstruktif adalah bagian penting dari demokrasi, dan mengkriminalisasi rakyat karena mengungkapkan pendapat berisiko menciptakan ketakutan di masyarakat. Pemerintah yang sehat seharusnya terbuka terhadap kritik, bukan malah membungkamnya.
RUU Penyiaran dan Kebebasan Pers
Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang membatasi investigasi jurnalistik semakin mempersempit ruang kebebasan pers. Salah satu pilar utama demokrasi adalah media yang bebas dan independen. Ketika pemerintah mulai mengatur apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan, publik kehilangan akses terhadap informasi yang beragam dan objektif. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam pernyataannya menyebutkan bahwa aturan ini berpotensi mengekang kebebasan pers dan bertentangan dengan semangat transparansi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Kasus terbaru yang menimpa kantor Tempo menjadi contoh nyata bagaimana kebebasan pers sedang diuji. Teror dalam bentuk kiriman kepala babi tidak hanya menyerang satu institusi media, tetapi juga mengancam seluruh ekosistem jurnalisme di Indonesia. Pernyataan seorang pejabat istana yang merespons insiden ini dengan santai menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam melindungi kebebasan pers.
Demokrasi atau Demokrasi Semu?
Jika kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak pada kepentingan kekuasaan daripada kepentingan rakyat, kita sedang bergerak menuju demokrasi semu sebuah sistem di mana demokrasi hanya menjadi formalitas tanpa substansi yang nyata. Demokrasi sejati harus memberikan ruang bagi perbedaan pendapat, transparansi, dan supremasi hukum yang adil bagi semua.
Oleh karena itu, kita tidak bisa diam. Ketika regulasi digunakan sebagai alat pembungkaman, maka sikap pasif hanya akan mempercepat kemunduran demokrasi. Masyarakat sipil, akademisi, aktivis, dan pemuda harus merapatkan barisan untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan sesuai prinsip yang sesungguhnya: kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Jika kita ingin menjaga masa depan demokrasi di negeri ini, maka perlawanan terhadap upaya pelemahannya bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan.
0 Komentar