SPACE IKLAN

header ads

Tak Lekang Oleh Zaman, Antara Batik, Keris Dan Arca

Foto. Ilustrasi.

Kamis, 6 Maret 2025.
Oleh, Mell.

WARTABUMIGORA.ID|SURAKARTA - Manusia dalam peradabannya mengalami banyak perkembangan dari berbagai aspek kehidupan. Dimulai dengan cara termudah dalam berburu serta mengolah makanan hingga menghasilkan cipta rasa atau kebudayaan. Dengan membentuk masyarakat yang berkelompok untuk mempertahankan hidup, hingga terbentuklah susunan masyarakat yang melahirkan adat dan seni budaya. 

Hal inipun dicermati oleh Panembahan Hardjonegara atau juga dikenal dengan Go Tik Swan. Dengan kesadaran penuh menjaga dan melestarikan adat budaya Nuswantara. Bukan hanya itu, pelaku serta pemerhati budaya ini pun mengembangkan Keris hingga Batik sampai tarian jawa.

Go Tik Swan juga dikenal sebagai ahli tarian jawa, ahli keris, dan pemerhati benda-benda purbakala. Terdapat .47 arca dengan perlahan namun pasti dikumpulkan berbagai Arca dari abad ke 8 hingga abad ke 14. Dengan menempatkannya pada rumah yang dibangun di tahun 1950. 

Rumah Ndalem Hardjonegaran menjadi saksi bisu dalam perkembangan batik Tionghoa yang dikembangkan oleh Panembahan Hardjonergara. Panembahan Hardjonegara merupakan seseorang yang mempunyai peran besar dalam kebudayaan di kota Solo, khususnya perkembangan batik di Indonesia sebagai pencipta Batik Solo Jogja yang menggabungkan teknik Batik Sogan dan Batik Pesisiran atas permintaan Presiden Soekarno, Hardjonagoro meninggalkan warisan berharga dalam sejarah batik Indonesia.

Motif batik karya Go Tik Swan memiliki nilai cita rasa yang tinggi, perpaduan antara motif, pewarnaan dan teknik batik klasik Kraton yang cenderung sogan dengan pola, teknik dan pewarnaan gaya Pesisiran yang multicolour, dikenal dengan prinsip “Nunggak Semi”.

Go Tik Swan atau lebih dikenal sebagai Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hardjonegara adalah seorang budayawan dan sastrawan terkemuka Indonesia yang menetap di Surakarta. Lahir pada 11 Mei 1931, ia adalah putra sulung dari keluarga Tionghoa priyayi di Solo.

Pertemuan awalnya dengan Presiden pertama RI, Soekarno, terjadi saat acara dies natalis UI, di mana ia menari Gambir Anom gaya Surakarta di Istana Negara. Kedekatannya dengan Soekarno membuat presiden tersebut turut merancang Ndalem Hardjonegaran.


Penerus Ndalem Hardjonegaran, Kanjeng Raden Riyo Aryo (KRRA) Hardjosoewarno, menjelaskan bahwa rumah ini didirikan pada tahun 1950 ketika Go Tik Swan masih berkuliah di Universitas Indonesia. Awalnya, orang tuanya memasukkannya ke Fakultas Ekonomi, namun minatnya yang besar pada seni tari, gamelan, dan wayang kulit membuatnya beralih ke Fakultas Sastra Jawa.

“Rumah ini, arsiteknya Bung Karno. Karena dekat sekali Bung Karno dengan Pak Hardjonegara,” ungkap Hardjosoewarno (3/3/2025)

Lahirnya motif Batik Indonesia juga berkat perintah Soekarno untuk menyatukan motif batik dari berbagai daerah di Indonesia. Go Tik Swan mengadakan pameran Batik Indonesia pertama kali pada tahun 1956, yang dihadiri oleh Soekarno dan sejumlah kepala negara, termasuk Raja Kamboja dan Kaisar Jepang.

“Semua batik yang dipamerkan itu juga dihadiahkan ke teman-temannya Bung Karno, menyebar hingga museum-museum di luar negeri menyimpan batik karya-karya beliau,” tuturnya.

Ada pula di lingkungan Ndalem Hardjonegaran sebuah pendopo agung yang berusia -+ 300 tahun. Pendopo tersebut dibuat era Pangeran Puger sekitar tahun 1700 Masehi.

Baca Juga

    Sunan Pakubuwana I atau Pangeran Puger terlahir dengan nama Raden Mas Darajat, ia adalah putra Amangkurat I dan cucu dari Sultan Agung yang lahir di Plered, Yogyakarta, pada 1648. Ayahnya merupakan Raja Mataram keempat, Pangeran Puger terlahir dari permaisuri kedua, Ratu Wetan. Ratu Wetan berasal dari keluarga Kajoran, keturunan Pajang. Susuhunan Mataram ketujuh yang memerintah antara tahun 1704 – 1719.

    Terdapat keunikan bila melihat bilah kayu dari pendopo tersebut, tiang atau pilar dari pendopo mempunyai bentuk dan besar yang sama. Baik kayu penopang didalam maupun diluar.

    Menyatunya abdi dan Raja merupakan aktualisasi dari gerak menyatu (memusat) dan menyebar. Artinya, dalam gerak memusat, yang imanen menuju pusat, yang transenden. Inilah jalan ke atas, manunggaling kawulo dengan Gusti-nya.

    "Ini juga bermakna manunggalnya (menyatunya) antara kawula (abdi) dengan gusti (raja/wakil Tuhan di bumi)." Ujar Hardjosuwarno.

    Makna spiritual, historis, dan artistik yang signifikan

    Sebagai seniman, kolektor, dan pelestari budaya yang sepanjang hidupnya telah berdedikasi untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda bersejarah, termasuk berbagai keris, lukisan, dan arca mempunyai tanggung jawab agar dapat melestarikan adat dan seni budaya Nuswantara. 

    Di Ndalem Hardjonegara terdapat besalen atau tempat penempaan keris. Besalen berasal dari bahasa sansekerta, merupakan bangunan atau tempat produksi pada industri pande besi. Bangunan besalen ini tidak jauh beda dengan bangunan rumah biasa, bangunannya tanpa tembok dan hanya terdiri dari genteng dan tiang-tiang penyangga. Di dalam besalen ini terdapat alat-alat yang digunakan dalam industri pande besi. 

    "Kami juga memproduksi keris - keris hingga akhir 2000, dikarenakan ada salah satu empu pembuat keris meninggal dan saya pun mengalami sakit di kaki, maka terhenti." Ujar HardjoSuwarno.

    Koleksi artefak yang dimiliki berjumlah 47 arca bersejarah dari keluarga Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan). Arca yang mencerminkan warisan budaya nuswantara mencakup sejumlah mahakarya langka, seperti sepasang Arca Garudea, Arca Resi Agastya, dua Arca Durga, satu Arca Buddha berukuran besar, serta Arca Bima yang memiliki tinggi lebih dari dua meter. 

    Pada tanggal 23 Januari 2025 arca bersejarah dari keluarga Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan) dihibahkan kepada negara dalam acara serah terima yang berlangsung di Ndalem Hardjonegaran, Jl. Yos Sudarso No. 176 Surakarta. Puluhan arca yang diserahkan kali ini merupakan koleksi yang dikumpulkan oleh K.R.T. Hardjonagoro sejak 1950 hingga 1980.

    Pada tahun 1985, ia telah menghibahkan sebagian koleksinya kepada negara sebagai bentuk kecintaannya terhadap tradisi dan sejarah bangsa Indonesia. 

    Acara serah terima ini berlangsung khidmat dengan nuansa adat Jawa, diawali dengan wilujengan, dan simbolis penyerahan Arca Nandi dari ahli waris, K.R.R.A Hardjosoewarno kepada Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan. 

    Kementerian Kebudayaan berkomitmen untuk memuliakan koleksi ini melalui pameran permanen yang dilengkapi narasi edukatif di Gedung Kementerian Kebudayaan, setelah terlebih dahulu dibawa ke Museum Nasional Indonesia untuk dilakukan kajian bagi kepentingan pelestarian budaya dan pendidikan.

    "Kebudayaan bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga fondasi untuk membangun masa depan bangsa,” 


    Posting Komentar

    0 Komentar